WELCOME

MACAM NARKOBA 1

Senin, 31 Mei 2010

Shabu-shabu :

Ubas, ss mecin. Gold river, coconut, crystal. shabu2 ini yang sangat mudah didapat dan sangat mudah cara mengkonsumsinya; kelihatannya shabu2 ini memang sengaja disiapkan oleh Kekuatan asing dan Mafia internasional untuk merusak generasi penerus bangsa, bubuk shabu2 yang berbentuk kristal ini sangat mudah didapat dan sangat mudah juga dipakainya, dan pemakainya tidak pernah sakauw atau merasa kesakitan kalau lagi nagih, tetapi bubuk kristal ini sangat jahat karena langsung merusak otak terutama otak yang mengendalikan pernafasan, suatu saat pecandu akan mengeluh sakit asma(sesak nafas) dan lama2 kalau tetap memakai shabu2 akan meninggal begitu saja karena kehabisan nafas, karena syaraf otak yang mengendalikan pernafasan sudah tidak berfungsi, dan tidak ada lagi instruksi untuk bernafas. Setiap hari ada berapa remaja yang meninggal hanya karena keluhan sesak nafas(asma). Cara memakai Kristal ini dibakar lalu dihisap dengan alat khusus yang disebut Bong tetapi anak2 pandai sekali bisa membuat dengan botol apa saja. Dihisap dengan mediator air. Tetapi yang pecancu tidak tahu, didalam tubuh kristal ini mengkristal kembali, sehingga paru2nya bisa berubah menjadi batu mengeras sehingga umumnya keluhan pemakai shabu-shabu adalah sesak nafas. Harga Shabu-bhabu 1 gr - Rp. 200.000,- Jenis Blue Sky yang mahal 1 gr. Rp. 500.000,- 1 gr. bisa untuk 8 orang. Biasanya dipakai 2 kali per minggu. Kristal ini paling banyak digemari karena tidak ada sakauwnya, kalau lagi nagih hanya gelisah, tidak bisa berpikir dan bekerja. 


Sakauw Shabu-shabu :
Gelisah, tidak bisa berpikir, tidak bisa bekerja.Tidak bisa tenang, cepat capai, mudah marah, tidak bisa beraktivitas dengan baik, tidak ada semangat, Depresi berat, Rasa lelah berlebihan, Gangguan tidur, Mimpi bertambah

Habis pakai shabu-shabu:
Mata bendul ada garis hitam, Badan terasa panas terbakar, sehingga minum terus menerus, dan ke-mana2 selalu membawa botol aqua. Kuat tidak makan dan tidak tidur sampai ber-hari2, ngomong terus tapi suaranya jelas.Bersemangat, gariah seks meningkat, paranoid, tidak bisa diam/tenang, selalu ingin menambah terus, tidak bisa makan, tidak bisa tidur
Pernah dicoba betapa ganasnya kristal ini, ambil daging mentah dan taruh kristal ini diatasnya dan kristal ini bisa menembus masuk kedalam daging ini, bayangkan kristal seperti ini dimasukkan kedalam tubuh.

Akibat :
Merusak organ2 tubuh terutama otak, dan syaraf yang mengatur pernafasan. Banyak yang mati karena sesak nafas, dan tiba2 berhenti bernafas karena syaraf yang mengendalikan pernafasan sudah rusak dan tidak ada lagi instruksi untuk bernafas, sehingga nafasnya putus/berhenti, dan mati.Paranoid, otak suah dipakai berpikir dan konsentrasi, jet lag dan tidak mau makan.Rasa gembira / euforia, Rasa harga diri meningkat, Banyak bicara, Kewaspadaan meningkat, denyut jantung cepat, Pupil mata melebar, Tekanan darah meningkat, berkeringat/rasa dingin, Mual/muntah, (Dalam waktu 1 jam setelah pemakai gelisah),Delirium/kesadaran berubah (pemakai baru, lama, dosis tinggi), Perasaan dikejar-kejar, Perasaan dibicarakan orang, Agresif dan sifat bermusuhan, Rasa gelisah, Tak bisa diam, (Dalam waktu 24 jam).Gangguan irama detak jantung, Perdarahan otak, Hiperpireksia atau syok pada pembuluh darah jantung yang berakibat meninggal

Sumber: infonarkoba.blogspot.com

BAHAYA MEROKOK.....



Sedikit catatan bagi Perokok Aktif :
Semakin muda seseor
ang mulai merokok, maka semakin besar peluangnya menjadi perokok berat pas udah gedhe ato dewasa.


Bahaya Merokok :
- Asap Rokok mengandung 4o bahan kimia penyebab kanker, sejumlah kecil racun seperti arsenikum, dan sianida serta lebih dari 4000 bahan kimia lain.


-Saat merokok, serangkaian bahan kimiawi ini menjelajah ke organ vital tubuh macam otak, paru-paru, jantung dan pembuluh darah. Udah gitu, tubuh kita jadi terpolusi bahan kimiawi yang bisa memicu Kanker dan Kecanduan.
(Sttt… banyak yang tau, merokok dan kanker paru-paru itu berhubungan erat. Belom lagi kematian akibat merokok yang banyak ditemukan).


-Asap rokok juga mengandung Karbon Monoksida yang kalo dihirup bakalan nge-ganti fungsi Oksigen di sel – sel darah terus ngambil zat makanan dari jantung, otak, dan organ tubuh lain. ---Selain itu, dengan merokok, kita juga mematikan indra pengecap dan pencium sehingga kita ga’ bisa lagi ngerasain lezatnya makanan seperti biasanya.
-Unsur utama dalam rokok yaitu Nikotin. Nikotin ini ngerangsang zat kimia di otak yang mengakibatkan kecanduan. Zat kimia ini merangsang kelenjar adrenalin untuk memproduksi hormon yang mengganggu jantung akibat tekanan darah dan denyut jantung meningkat.



Belom lagi orang-orang disekitar kita yang ikut juga terkena asap rokok meski mereka sendiri ga’ ngerokok. Mereka ini disebut Perokok Pasif.

Bahaya Perokok Pasif :
-Berisiko juga terkena kanker paru-paru dan penyakit jantung.
-Bagi perokok pasif yang menderita penyakit pernafasan atau penyakit jantung, serta orang tua, mereka bahkan lebih rentan dengan asap rokok yang kita hembusin.
-Anak-anak berusia kurang dari 1 taon juga bakal lebih sering masuk Rumah Sakit karena ganguan penyakit pernafasan.
-Selain itu, anak-anak yang jadi perokok pasif juga beresiko menderita infeksi telinga, pneumonia, dan bronkitis.
-Terakhir, seorang ibu yang merokok – selama dan setelah kehamilan – berisiko 3x lebih besar menyebabkan sang bayi meninggal akibat sindrom kematian mendadak.

Sumber: http://oktavita.com/bahaya-merokok.htm

ROKOK itu NARKOBA


Rokok adalah pintu gerbang bagi narkoba. Lebih spesifik lagi, rokok itu sendiri sebenarnya termasuk ke dalam definisi narkoba. Ya, di tengah maraknya kampanye anti-narkoba di masyarakat, ternyata tidak banyak yang menyadari hal ini. Merokok kini tidak lagi merupakan masalah kesehatan melulu, tetapi sudah memiliki kompleksitas tersendiri.

Di dalam pengertian Narkoba termuat 3 kelompok zat aktif yaitu Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya. Rokok bersama dengan alkohol termasuk ke dalam kelompok yang terakhir. Nikotin yang merupakan salah satu komponen dari rokok merupakan zat psikotropika stimulan. Jadi sesungguhnya rokok itu adalah narkoba juga. Oleh karena itu, rokok pun memiliki sifat-sifat utama layaknya narkoba lain yaitu habituasi, adiksi dan toleransi. Habituasi adalah suatu perasaan rindu, terus menerus melintas di pikiran untuk menggunaan zat, sehingga seseorang akan terus berkeinginan menggunakan zat tersebut saat berkumpul dengan sesama teman pemakai. Sedangkan adiksi merupakan dorongan kompulsif untuk menggunakan suatu zat diserta tanda-tanda ketergantungan.

Ketergantungan itu sendiri dapat berupa ketergantungan psikis (psychological dependence) maupun ketergantungan fisiologis (physiological dependence). Ketergantungan psikis merupakan kompulsi penggunaan zat untuk memenuhi kebutuhan psikologis, seperti untuk menghadapi stress. Sedangkan ketergantungan fisiologis berarti proses perubahan fungsional tubuh sedemikian rupa dikarenakan paparan rutin terhadap zat. Toleransi adalah contoh bentuk ketergantungan fisiologis, yaitu seiring bertambahnya waktu penggunaan maka pemakaian zat berikutnya diperlukan dosis yang lebih besar dari sebelumnya untuk mencapai efek kenikmatan yang sama. Toleransi inilah yang akan membuat seorang perokok, dan pemakai narkoba lainnya, terus menambah jumlah batang rokok yang dihisapnya dari waktu ke waktu.

Rokok merupakan narkoba termurah dan dijual bebas. Dengan selembar uang Rp 1.000,00 seseorang sudah mampu mendapatkan sebatang rokok yang mengandung 4.000 macam zat kimia. Tidak ada satupun produk farmasi yang berisikan 4.000 macam zat kimia dapat dibeli dengan harga sedemikian murah. Oleh karena itu, siapapun mudah memperoleh sebatang rokok, dari mereka yang usia tua maupun anak sekolah dasar. Selain itu rokok juga memberikan kenikmatan, walaupun sementara, dan hal ini lah yang menjadi magnet bagi pribadi-pribadi labil yang tidak puas akan kenyataan hidup ini atau bagi para remaja sebagai teman setia saat kumpul-kumpul.

Jadi tidak perlu heran jika merokok telah menjadi kebiasaan buruk yang popular di masyarakat. Berdasarkan laporan Breslau dkk (2001), 1 dari 4 orang dewasa di Amerika Serikat memiliki ketergantungan terhadap nikotin, walaupun belakangan ini popularitas merokok di kalangan remaja Negeri Paman Sam terus melorot. Penduduk Indonesia sendiri merupakan salah satu konsumen rokok terbesar di dunia, serta memiliki produksi rokok yang tidak kalah besarnya pula. Fakta ini membuat berbagai perusahaan rokok asing, seperti Philip Morris, berebut pangsa pasar di negeri ini.

Dan akhirnya seiring impor rokok dan investasi dari negara maju yang semakin masif, penyakit-penyakit terkait dengan rokok juga diimpor. Penyakit kardiovaskular dan kanker (terutama kanker paru) sekarang ini menduduki tangga teratas penyebab kematian di Indonesia, menggeser berbagai penyakit infeksi.

Ada beberapa tahapan yang dialami seorang perokok hingga menjadi tahap ketergantungan. Tahap pertama adalah eksperimental atau coba-coba. Mereka mulai menghirup rokok untuk mencari ketenangan, energi lebih dan pelarian dari stress sehari-hari. Pada tahap ini seorang perokok merasa yakin masih dapat mengontrol kebiasaannya untuk merokok.

Pada tahap selanjutnya, yaitu penggunaan rutin, perokok mulai dikendalikan oleh efek dasyat nikotin. Pada tahap ini penyangkalan memainkan peranan penting. Perokok akan menyangkal bahwa ia tidak dapat mengendalikan lagi kebiasaannya merokok, menyangkal bahwa kebiasaannya itu dapat menimbulkan berbagai penyakit fatal. Sebenarnya ia mengetahui bahaya-bahaya merokok, tetapi kenikmatan semu tersebut telah terlanjur menutupi kecemasan dan akal sehatnya. Dengan penyangkalan ini, maka tidak heran kampanye anti-rokok yang mengusung berbagai bahaya merokok bagi kesehatan menjadi mentah.

Tahapan terakhir adalah ketergantungan, di mana rokok sudah menjadi sahabat setia perokok setiap waktu, dan tanpanya, perokok akan mengeluh berbagai macam kesengsaraan dari mulut pahit hingga demam. Dan selanjutnya, ia pun akan merokok lagi, bukan sekedar mencari kenikmatan seperti tahapan awal melainkan untuk menghindarkan diri dari kesakitan withdrawal.

Menilik bahwa rokok berawal dari coba-coba, rasa ingin tahu maupun rasa setia kawan, maka tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa pribadi perokok adalah rentan juga terhadap narkoba lainnya. Rokok adalah pintu gerbang kepada narkoba lainnya. Kematian dikarenakan penyakit-penyakit terkait rokok adalah lebih besar daripada kematian karena narkoba jenis lainnya. Biaya negara untuk merawat penduduknya yang menderita penyakit-penyakit terkait dengan rokok juga lebih besar dibandingkan pendapatan dari pajak rokok.

Celakanya rokok adalah satu-satunya narkoba yang dapat menyerang orang yang tidak turut menggunakannya. Beberapa penelitian telah menyebutkan bahwa perokok pasif memiliki resiko yang kurang lebih sama dengan perokok aktif untuk menderita penyakit jantung koroner, saluran napas, katarak dan bahkan kanker paru. Sehingga tidak disangsikan bahwa rokok lebih berbahaya dibandingkan narkoba jenis lainnya.

Merokok bukanlah sekedar permasalahan kesehatan, tetapi melibatkan pula segi politik, bisnis, sosial-pergaulan, psikologis maupun kemiskinan. Walaupun telah diketahui resiko dari rokok sedemikian besar, adalah mustahil untuk melarang pabrik rokok untuk beroperasi. Industri rokok adalah tempat perputaran uang yang hebat berupa lapangan kerja serta penyumbang pajak terbesar bagi negara. Beberapa orang terkaya di negeri ini berasal dari industri rokok. Rokok sudah lama menjadi sponsor utama berbagai program olahraga, terutama sepak bola yang sangat popular di masyarakat. Iklan rokok selalu menampilkan sosok pria yang maskulin dan jiwa petualang sehingga mampu merebut hati para remaja yang memang masa penuh mimpi untuk menjadi idola. Dengan demikian, apalah artinya himbauan kecil bahaya merokok bagi kesehatan yang tertera di bungkus rokok dibandingkan iklan rokok yang begitu megah. Hal inilah yang menjadikan rokok sebagai salah satu narkoba yang ‘dilegalkan’. Bahkan selama ini ketika kasus narkoba terus bergejolak, rokok selalu terabaikan sebagai akar masalah narkoba. Bagaimana mungkin kita hendak melenyapkan ilalang tanpa mencabut akarnya?

Walaupun rokok dibentengi dengan kokoh oleh unsur politik dan bisnis, bukan berarti upaya memerangi rokok harus terhenti di tengah jalan. Upaya kampanye anti-rokok harus terus menerus digalakkan, namun dengan berbagai pendekatan lain. Selama ini pendekatan dengan mengedepankan berbagai ancaman kesehatan sudah banyak dipakai, dan biasanya kurang efektif. Tentu saja jarang seorang perokok berhenti merokok dikarenakan ketakutannya akan berbagai penyakit tersebut kecuali jika ia memang telah menderitanya. Yang terjadi adalah kenikmatan sementara dari asap rokok yang mengebul telah membuat diri perokok tenang, tidak mencemaskan apapun, hidup menjadi nikmat serta mengaburkan kekhawatiran akan masa depannya.

Pendekatan yang mungkin lebih efektif adalah dengan menekankan betapa penting untuk menghentikan merokok demi menyelamatkan orang-orang yang disayangi seperti istri atau anak perokok dari bahaya sebagai perokok pasif. Selain itu saat ini telah tersedia obat-obat pengganti nikotin seperti varenicline, hal ini mungkin menjanjikan, tetapi bisa juga hanya sekedar pergeseran dari satu bentuk ketergantungan kepada ketergantungan lainnya. Belum lagi masalah biaya yang pastinya mahal karena produksi obat ini masih dipegang swasta.

Larangan merokok di tempat umum seperti yangt tertuang pada Peraturan Daerah (Perda) No 2 Tahun 2005 tentang Penanggulangan Pencemaran Udara (PPU) di DKI Jakarta sebenarnya adalah upaya positif, namun sayangnya kenyataan di lapangan tidak berjalan sebagaimana semestinya. Permasalahan rokok harus terus ditangani serius oleh berbagai pihak, dalam skala makro maupun mikro, seserius dengan slogan-slogan anti-narkoba yang kerap kita dengar dan lihat.

Sumber : http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=6332

FLASH PERTOBATAN

Selasa, 25 Mei 2010

Kalau mau download >klik kanan >pilih save link as...


Flash 1: Love2
Flash 2: Flesh and Blood
Flash 3: Duty
Flash 4: The Times
Flash 5: Quiz
Flash 6: Way
Flash 7: Heaven
Flash 8: LOve
Flash 9: Faith
Flash 10: Distance


WASPADAI NARKOBA!!!

Gejala-Gejala Pemakaian Narkoba Yang Berlebihan

1. Opiat (heroin, morfin, ganja)
- perasaan senang dan bahagia
- acuh tak acuh (apati)
- malas bergerak
- mengantuk
- rasa mual
- bicara cadel
- pupil mata mengecil (melebar jika overdosis)
- gangguan perhatian/daya ingat

2. Ganja
- rasa senang dan bahagia
- santai dan lemah
- acuh tak acuh
- mata merah
- nafsu makan meningkat
- mulut kering
- pengendalian diri kurang
- sering menguap/ngantuk
- kurang konsentrasi
- depresi

3. Amfetamin (shabu, ekstasi)
- kewaspadaan meningkat
- bergairah
- rasa senang, bahagia
- pupil mata melebar
- denyut nadi dan tekanan darah meningkat
- sukar tidur/ insomnia
- hilang nafsu makan

4. Kokain
- denyut jantung cepat
- agitasi psikomotor/gelisah
- euforia/rasa gembira berlebihan
- rasa harga diri meningkat
- banyak bicara
- kewaspadaan meningkat
- kejang
- pupil (manik mata) melebar
- tekanan darah meningkat
- berkeringat/rasa dingin
- mual/muntah
- mudah berkelahi
- psikosis
- perdarahan darah otak
- penyumbatan pembuluh darah
- nystagmus horisontal/mata bergerak tak terkendali
- distonia (kekakuan otot leher)

5. Alkohol
- bicara cadel
- jalan sempoyongan
- wajah kemerahan
- banyak bicara
- mudah marah
- gangguan pemusatan perhatian
- nafas bau alkohol

6. Benzodiazepin (pil nipam, BK, mogadon)
- bicara cadel
- jalan sempoyongan
- wajah kemerahan
- banyak bicara
- mudah marah
- gangguan pemusatan perhatian

Tanda-Tanda Kemungkinan Penyalahgunaan Narkotika dan Zat adiktif

a. Fisik
- berat badan turun drastis
- mata terlihat cekung dan merah, muka pucat, dan bibir kehitam-hitaman
- tangan penuh dengan bintik-bintik merah, seperti bekas gigitan nyamuk dan
ada tanda bekas luka sayatan. Goresan dan perubahan warna kulit di tempat
bekas suntikan
- buang air besar dan kecil kurang lancar
- sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas

b. Emosi
- sangat sensitif dan cepat bosan
- bila ditegur atau dimarahi, dia malah menunjukkan sikap membangkang
- emosinya naik turun dan tidak ragu untuk memukul orang atau berbicara kasar
terhadap anggota keluarga atau orang di sekitarnya
- nafsu makan tidak menentu

c. Perilaku
- malas dan sering melupakan tanggung jawab dan tugas-tugas rutinnya
- menunjukkan sikap tidak peduli dan jauh dari keluarga
- sering bertemu dengan orang yang tidak dikenal keluarga, pergi tanpa pamit
dan pulang lewat tengah malam
- suka mencuri uang di rumah, sekolah ataupun tempat pekerjaan dan menggadaikan
barang-barang berharga di rumah. Begitupun dengan barang-barang berharga
miliknya, banyak yang hilang
- selalu kehabisan uang
- waktunya di rumah kerapkali dihabiskan di kamar tidur, kloset, gudang, ruang yang
gelap, kamar mandi, atau tempat-tempat sepi lainnya
- takut akan air. Jika terkena akan terasa sakit – karena itu mereka jadi malas mandi
- sering batuk-batuk dan pilek berkepanjangan, biasanya terjadi pada saat gejala
“putus zat”
- sikapnya cenderung jadi manipulatif dan tiba-tiba tampak manis bila ada maunya,
seperti saat membutuhkan uang untuk beli obat
- sering berbohong dan ingkar janji dengan berbagai macam alasan
- mengalami jantung berdebar-debar
- sering menguap
- mengeluarkan air mata berlebihan
- mengeluarkan keringat berlebihan
- sering mengalami mimpi buruk
- mengalami nyeri kepala
- mengalami nyeri/ngilu sendi-sendi

Sumber : http://nusaindah.tripod.com/narkoba.htm

UU Tentang Narkoba

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG N A R K O T I K A

DENGAN RACHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat kesehatannya;

b. b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika;

c. c. bahwa narkotika disatu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat dibidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan disisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanda pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama;

d. d. bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi,menanam menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat, serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kejahatan karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;

e. e. bahwa kejahatan narkotika telah bersifat transnasional
yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
tinggi dan teknologi canggih, sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut;

f. f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a,
b, c, d, dan e serta pertimbangan bahwa Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi, maka perlu dibentuk Undang-undang baru tentang Narkotika;


Menimbang :

1. Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar
1945;

2. 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta Protokol yang mengubahnya (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3085);

3. 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);

4. 4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotoprika (United nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance) (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3673);


Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

1. 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

2. 2. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah,
membuat, menghasilkan, mengemas, dan/atau mengubah bentuk narkotika termasuk mengekstrasi, mengkonversi, atau merakit narkotika untuk memproduksi obat.

3. 3. Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika ke dalam Daerah
Pabean.

4. 4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dari Daerah
Pabean.

5. 5. Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.

6. 6. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan Menteri
Kesehatan untuk mengimpor narkotika.

7. 7. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan Menteri
Kesehatan untuk mengekspor narkotika.

8. 8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara,moda, atau sarana angkutan apapun.

9. 9. Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi termasuk narkotika dan alat kesehatan.

10. 10. Pabrik Obat adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan penyaluran obat dan bahan obat, termasuk narkotika.

11. 11. Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat kantor Pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

12. 12. Pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

13. 13. Ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk
menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan.

14. 14. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter

15. 15. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.

16. 16. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemilihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat

17. 17. Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika.

18. 18. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan penyadapan pembicaraan melalui telepon dan atau alat komunikasi elektronika lainnya.

19. 19. Korporasi adalah kumpulan terorganisir dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.


BAB II

RUANG LINGKUP DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) (1) Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam Undang-undang ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika.

(2) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan menjadi:

a. a. Narkotika Golongan I;

b. b. Narkotika Golongan II; dan

c. c. Narkotika Golongan III
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(3) Penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk pertama kalinya ditetapkan sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.

(4) (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 3

Pengaturan narkotika bertujuan untuk :

a. a. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan;

b. b. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan

c. c. memberantas peredaran gelap narkotika.

Pasal 4

Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 5

Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang untuk kepentingan lainnya.


BAB III

P E N G A D A A N

Bagian Pertama
Rencana kebutuhan Tahunan

Pasal 6

(1) (1) Menteri Kesehatan mengupayakan tersedianya narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

(2) (2) Untuk keperluan tersedianya narkotika sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyusun rencana kebutuhan narkotika setiap tahun.

(3) (3) Rencana kebutuhan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menjadi pedoman pengadaan, pengendalian dan pengawasan narkotika secara nasional.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(4) (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 7

(1) (1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor,produksi dalam negeri dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)

(2) (2) Narkotika yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada dibawah pengendalian, pengawasan dan tanggung jawab Menteri Kesehatan.


Bagian Kedua

Produksi

Pasal 8

(1) (1) Menteri kesehatan memberi izin khusus untuk meproduksi narkotika kepada pabrik obat tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) (2) Menteri Kesehatan melakukan pengendalian tersendiri dalam
pelaksanaan pengawasan terhadap proses produksi, bahan baku narkotika dan hasil akhir dari proses produksi narkotika.

(3) (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan

Pasal 9

(1) (1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan pengawasan yang ketat dari Menteri kesehatan.

(2) (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam proses produksi dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN


Bagian Ketiga

Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan

Pasal 10

(1) (1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan,
pelatihan, keterampilan dan penelitian pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian dan pengembangan, dapat memperoleh, menanam, menyimpan dan menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan setelah mendapat izin Menteri Kesehatan.

(2) (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan menteri Kesehatan.


Bagian Keempat

Penyimpanan dan Pelaporan

Pasal 11

(1) (1) Narkotika yang berada dalam penguasaan importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus

(2) (2) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit,puskesmas, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang ada dalam pengusaannya.

(3) (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

(4) (4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan berupa:
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

a. a. teguran;
b. b. peringatan;
c. c. denda administratif;
d. d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. e. pencabutan izin.


BAB IV

IMPOR DAN EKSPOR

Bagian Pertama
Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan ekspor

Pasal 12

(1) (1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan
pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.

(2) (2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.

Pasal 13

(1) (1) Impor narkotika harus memiliki surat persetujuan impor untuk setiap kali melakukan impor narkotika dan Menteri Kesehatan.

(2) (2) Surat persetujaun impor narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

(3) (3) Surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada negara pengekspor.

Pasal 14

Pelaksanaan impor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara pengekspor.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 15

(1) (1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan
pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai ekportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotik

(2) (2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotik

Pasal 16

(1) (1) Eksportir narkotika harus memiliki surat persetujuan ekspor untuk setiap kali melakukan ekspor narkotika dan Menteri Kesehatan.

(2) (2) Untuk memperoleh surat persetujuan ekspor narkotika harus dilampiri dengan surat persetujuan dari negara pengimpor.

Pasal 17

Pelaksanaan ekspor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara pengimpor.

Pasal 18

Impor dan ekspor narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.

Pasal 19

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh surat persetujuan impor dan surat persetujuan ekspor narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.


Bagian Kedua

Pengangkutan

Pasal 20
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang, tetap berlaku bagi pengangkutan narkotika kecuali ditentukan lain dalam Undangundang ini atau diatur kembali berdasarkan ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 21

(1) (1) Setiap pengangkutan impor narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara pengekspor dan surat persetujuan impor narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.

(2) (2) Setiap pengangkutan ekspor narkotika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara pengimpor.

Pasal 22

Penanggung jawab pengangkut impor narkotika yang memasuki Wilayah Negara Republik Indonesia wajib mebawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor narkotika dan Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dinegara pengekspor.

Pasal 23

(1) (1) Eksportir narkotika wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.

(2) (2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan
ekspor wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.

(3) (3) Penanggung jawab pengangkut ekspor narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara pengimpor.

Pasal 24
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(1) (1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau ditempat yang aman didalam kapal dengan disegel oleh nahkoda dengan disaksikan oleh pengirim.

(2) (2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan narkotika yang diangkut.

(3) (3) Nakhoda, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah tiba dipelabuhan tujuan, wajib melaporkan narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada Kepala Kantor Pabean setempat.

(4) (4) Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan
pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh Pejabat Bea dan Cukai.

(5) (5) Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika didalam kapal secara tajpa hak wajib membuat berita acara, melakukan tindakan-tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan menyerahkan narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang.

Pasal 25

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.


Bagian Ketiga

T r a n s i t o

Pasal 26

(1) (1) Transito narkotika harus dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.

(2) (2) Dokumen persetujuan ekspor narkotika dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang :

a. a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor narkotika;

b. b. jenis, bentuk, dan jumlah narkotika; dan

c. c. negara tujuan ekspor narkotika.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 27

Setiap perubahan negara tujuan ekspor narkotika pada transito narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari :

a. a. pemerintah negara pengekspor narkotika;

b. b. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor narkotika;dan

c. c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor narkotika.

Pasal 28

Pengemasan kembali narkotika pada transito narkotika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan dibawah tanggung jawab pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan transito narkotika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat

Pemeriksaan

Pasal 30

Pemerintah melakukan pemeriksaaan atas kelengkapan dokumen impor, ekspor dan/atau transito narkotika.

Pasal 31

(1) (1) Importir narkotika memeriksa narkotika yang diimpornya dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri Kesehatan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor narkotika di perusahaan.

(2) (2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),Menteri Kesehatan menyampaikan hasil penerimaan impor narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.


BAB V

PEREDARAN

Bagian Pertama

U m u m
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 32

Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, maupun pemindahtanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 33

(1) (1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada Departemen Kesehatan.

(2) (2) Narkotika Golongan II dan III yang berupa bahan baku alamiah ataupun sintesis dapat diedarkan tanpa wajib daftar pada Departemen Kesehatan.

(3) (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
pendaftaran narkotika dalam bentuk obat jadi dan peredaran narkotika yang berupa bahan baku diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 34

Setiap kegiatan dalam rangka peredaran narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.


Bagian Kedua

Penyaluran

Pasal 35

(1) (1) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah dapat melakukan kegiatan penyaluran narkotika berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.

(2) (2) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran narkotika dari Menteri Kesehatan.

Pasal 36

(1) (1) Importir hanya dapat menyalurkan narkotika kepada pabrik obat tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(2) Pabrik obat tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada ;

a. a. Eksportir;
b. b. Pedagang besar farmasi tertentu;
c. c. Apotek;
d. d. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
e. e. Rumah sakit; dan
f. f. Lembaga ilmu pengetahuan tertentu.

(3) (3) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada ;

a. a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
b. b. apotek;
c. c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemeerintah tertentu;
d. d. rumah sakit;
e. e. lembaga ilmu pengetahuan; dan
f. f. eksportir.

(4) (4) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada :

a. a. rumah sakit pemerintah;
b. b. puskesmas; dan
c. c. balai pengobatan pemerintah tertentu.

Pasal 37

Narkotika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat tertentu dan/atau pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 38

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyaluran narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.


Bagian Ketiga

Penyerahan

Pasal 39

(1) (1) Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh :

a. a. apotek;
b. b. rumah sakit;
c. c. puskesmas;
d. d. balai pengobatan; dan
e. e. dokter.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(2) (2) Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada :

a. a. rumah sakit;
b. b. puskesmas;
c. c. apotek lainnya;
d. d. balai pengobatan;
e. e. dokter; dan
f. f. pasien.

(3) (3) Rumah sakit, apotek, puskesmas, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.

(4) Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan dalam hal :

a. a. Menjalankan praktik dokter dan diberikan melalui suntikan;
b. b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat melalui suntikan; atau
c. c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

(5) (5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) hanya dapat diperoleh dari apotek.

Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyerahan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.


BAB VI

LABEL DAN PUBLIKASI

Pasal 41

(1) (1) Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika.

(2) (2) Label pada kemasan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasan.

(3) (3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label narkotika harus lengkap dan tidak menyesatkan.

Pasal 42
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara publikasi dan pencatuman label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.


BAB VII

PENGOBATAN DAN REHABILITASI

Pasal 44

(1) (1) Untuk kepentingan pengobatan dan/atau perawatan, pengguna
narkotika dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika.

(2) (2) Pengguna narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (10 harus mempunyai bukti bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh dengan sah.

Pasal 45

Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan.

Pasal 46

(1) (1) Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umum wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.

(2) (2) Pecandu narkotika yang telah cukup umum wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.

(3) (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 47
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(1) (1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat :

a. a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau

b. b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut
tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

(2) (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu
narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat 91) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Pasal 48

(1) (1) Pengobatan dan/atau perawatan pecandu narkotika dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi.

(2) (2) rehabilitasi meliputi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 49

(1) (1) Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.

(2) (2) Atas dasar persetujuan Menteri Kesehatan, lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika.

(3) (3) Selain pengobatan dan/atau perawatan melalui rahabilitasi medis,proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

Pasal 50

Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Menteri Sosial.

Pasal 51

(1) (1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

(2) (2) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diatur dengan Keputusan Menteri Sosial.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

BAB VIII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Pertama
Pembinaan

Pasal 52

(1) (1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya :

a. a. memenuhi ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;

b. b. mencegah dan memberantas segala bentuk penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika.

c. c. Mencegah pelibatan anak dibawah umur dalam penyalahgunaan
dan peredaran narkotika.

d. d. Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau
pengembangan teknologi di bidang narkotika guna kepentingan
pelayanan kesehatan; dan

e. e. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi pecandu narkotika baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat.

Pasal 53

Pemerintah mengupayakan kerjasama bilateral, regional, multilateral dengan negara lain dan/atau badan internasional guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.

Pasal 54

(1) (1) Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

(2) (2) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat 91) mempunyai tugas
melakukan koordinasi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

(3) (3) Ketentuan mengenai susunan, kedudukan organisasi dan tata kerja badan narkotika nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN


Bagian Kedua

Pengawasan

Pasal 55

(1) (1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan narkotika.

(2) (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata cara
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 56

(1) (1) Menteri Kesehatan bertanggung jawab dalam pengendalian dan pengawasan terhadap importir, ekportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga ilmu pengetahuan, dan lembaga rehabilitasi medis.

(2) (2) Petugas melaksanakan pengawasan, dilengkapi dengan surat tugas.

(3) (3) Dalam hal diketemukan adanya bukti permulaan yang cukup atau berdasarkan petunjuk permulaan yang patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini, Menteri Kesehatan berwenang mengenakan sanksi administratif dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).

(4) (4) Untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, sanksi administratif dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat ditangguhkan untuk sementara.

(5) (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata cara
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri Kesehatan.


BAB IX

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 57

(1) (1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan seerta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(2) (2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang
apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

(3) (3) Pemerintah wajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 58

Pemerintah memberi penghargaan kepada anggota masyarakat atau badan yang telah berjasa dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan/atau pengungkapan tindak pidana narkotika.

Pasal 59

Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat, jaminan keamanan dan perlindungan, syarat dan tata cara pemberian penghargaan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


BAB X

PEMUSNAHAN

Pasal 60

Pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal :

a. a. diproduksi tanpa memnuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi;

b. b. kadaluarsa;

c. c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan; atau

d. d. berkaitan dengan tindak pidana.

Pasal 61

(1) (1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a, b, dan c dilaksanakan oleh Pemerintah, orang atau badan yag bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk Menteri Kesehatan.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(2) (2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 91) dilakukan
dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat :

a. a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;

b. b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan; dan

c. c. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.

(3) (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 62

(1) (1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. a. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan masih dalam tahap penyelidikan atau penyidikan, pemusnahan dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kejaksanaan, Departemen Kesehatan, dan Penyidik pejabat Pegawai negeri Sipil yang menguasai barang sitaan.

b. b. Dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, pemusnahan dilakukan
oleh Pejabat Kejaksaan dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Departemen Kesehatan.

(2) (2) Apabila dalam keadaan tertentu pejabat yang mewakili instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a tidak dapat dipenuhi, maka pemusnahan narkotika dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan disaksikan pejabat dari tempat kejadian perkara tindak pidana tersebut.

(3) (3) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurangkurangnya memuat :

a. a. nama, jenis, sifat dan jumlah;

b. b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan pemusnahan;

c. c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan

d. d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.

(4) (4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemusnahan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana berlaku bagi pemusnahan narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

BAB XI

PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN DISIDANG PENGADILAN

Pasal 63

Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana narkotika, dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Pasal 64

Perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya.

Pasal 65

(1) (1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, kepada Penyidik pejabat Pegawai Negeri sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi masalah narkotika dapat diberikan wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana narkotika.

(2) (2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :

a. a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana narkotika;

b. b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana narkotika;

c. c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan tindak pidana narkotika;

d. d. melakukan pemeriksanaan atau penyitaan bahan atau barang
bukti perkara tindak pidana narkotika;

e. e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana narkotika;

f. f. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan tindak pidana narkotika; dan

g. g. menangkap dan menahan orang yang disangka melakukan tindak
pidana narkotika.

Pasal 66

(1) (1) Penyidik berwenang untuk membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya, yang diduga keras
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika yang sedang dalam penyidikan.

(2) (2) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika, berwenang untuk menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi lain yang dilakukan oleh orang yang diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika.

(3) (3) Tindak pidana penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlangsung untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 67

(1) (1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang ynag diduga keras berdasarkan bukti permulaan yang cukup melakukan tindak pidana narkotika untuk paling lama 24 (dua puluh empat) jam.

(2) (2) Dalam hal waktu untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10 belum mencukupi, maka atasan langsung penyidik dapat memberi izin untuk memperpanjang penangkapan tersebut untuk paling lama 48 (empat puluh delapan) jam.

Pasal 68

Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang melakukan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung.

Pasal 69

(1) (1) Penyidik yang melakukan penyitaan narkotika, atau yang diduga narkotika, atau yang mengandung narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:

a. a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;

b. b. keterangan tentang jam, hari, tanggal, bulan, tahun dilakukan penyitaan;

c. c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan

d. d. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang
melakukan penyitaan.

(2) (2) Dalam hal penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil, penyidik wajib memberitahukan atau menyerahkan barang sitaa tersebut kepada Penyidik pejabat Polisi Negara republik indonesia setempat dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
berita acaranya disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat,Ketua pengadilan negeri setempat, dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.

(3) (3) Dalam hal penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, penyidik wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada ketua pengadilan negeri setempat dan pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Kesehatan.

(4) (4) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang menerima penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara yang sekurangkurangnya memuat :

a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;

b. keterangan tentang jam, hari, tanggal, bulan, tahun dilakukan
penyitaan;

c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan

e. e. identitas lengkap pejabat penyidik yang melakukan penyitaan.

(5) (5) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan, penyidik menyisihkan sebagian barang sitaan untuk diperiksa atau diteliti di laboratorium tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan,dan dilaksanakan selambat-lambatnya dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.

(6) (6) Penyidik bertanggung jawab atas penyimpanan barang sitaan.

(7) (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan sampel serta pemeriksaan di laboratorium diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

(8) (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyimpanan narkotika yang disita ditetapkan dengan Peraturan pemerintah.

Pasal 70

(1) (1) Kepala Kejaksaan negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang narkotika dari penyidik, selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari waib menetapkan status barang sitaan narkotika tersebut untuk kepentingan pembuktian perkara, pemanfaatan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, dan/atau dimusnahkan.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(2) (2) Barang sitaan narkotika yang berada dalam penyimpanan dan
pengamanan penyidik telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib
dimusnahkan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima0 hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat.

(3) (3) Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf a.

(4) (4) Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diserahkan kepada Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk, selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat.

(5) (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan kewenangan sebagiamana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Jaksa Agung.

Pasal 71

(1) (1) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia wajib
memusnahkan tanaman narkotika yang diketemukan selambat-lambatnya
24 (dua puluh empat) jam sejak saat diketemukan, setelah sebagian
disisihkan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan.

(2) (2) Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat :

a. a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;

b. b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
diketemukan dan dilakukan pemusnahan;

c. c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai tanaman
narkotika; dan

d. d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat atau pihak-pihak lain yang menyaksikan pemusnahan.

(3) (3) Bagian narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disimpan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk kepentingan pembuktian atau diserahkan kepada Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70.

Pasal 72
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70.

Pasal 73

(1) (1) Apabila dikemudian hari terbukti berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diketahui bahwa barang sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal 70 dan Pasal 71 diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh Pemerintah.

(2) (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan pemerintah.

Pasal 74

Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan,tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan setiap orang atau badan yang diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa.

Pasal 75

Dalam hal tertentu, hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan setiap orang atau badan bukan berasal dari hasil tindak pidana narkotika yang dilakukan terdakwa.

Pasal 76

(1) (1) Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama dan alamat pelapor atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

(2) (2) Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang lain mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 77

(1) (1) Narkotika dan alat yang digunakan didalam tindak pidana narkotika atau yang menyangkut narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(2) (2) Narkotika yang dinyatakan dirampas untuk negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera dimusnahkan, kecuali sebagian atau seluruhnya ditetapkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

(3) (3) Dalam hal alat yang dirampas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)adalah milik pihak ketiga yang bertindak baik, maka pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.

(4) (4) Tata cara pemusnahan dan pemanfaatan narkotika, alat dan hasil dari tindak pidana narkotika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini atau ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.


BAB XII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 78

(1) (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :

a. a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki,
menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman; atau

b. b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) (2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2(dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

(3) (3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

(4) (4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 79

(1) (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :

a. a. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);

b. b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) (2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :

a. a. ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah);

b. b. ayat (1) huruf b didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

(3) (3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :

a. a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);

b. b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(4) (4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :

a. a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);

b. b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 80

(1) (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :

a. a. memproduksi, mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, merakit,
atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00(satu milyar rupiah);

b. b. memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

c. c. memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau
menyediakan narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus rupiah).

(2) (2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :

a. a. ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);

b. b. ayat (1) huruf b didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun, dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

c. c. ayat (1) huruf c didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(3) (3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :

a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);

b. ayat (1) huruf b dilakukan dengan terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);

c. ayat (1) huruf c dilakukan dengan terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

(4) (4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :

a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah);

b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);

d. d. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

Pasal 81

(1) (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :

a. a. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika
Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

b. b. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika
golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

c. c. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika
golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) (2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didahului dengan pemufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam :

a. a. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling sedikit rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);

b. b. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

c. c. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) (3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :

a. ayat (1) huruf a, dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);

b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganiasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);

d. d. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(4) (4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :

a. ayat (1) huruf a, dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);

b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);

d. d. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

Pasal 82
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(1) (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :

a. a. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

b. b. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan II,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

c. c. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan III,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2) (2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam :

a. a. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);

b. b. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

c. c. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

(3) (3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);

b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);

c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganiasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(4) (4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :

a. a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah);

b. b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);

c. c. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

Pasal 83

Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 78, 79, 80, 81, dan Pasal 82, diancam dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasalpasal tersebut.

Pasal 84

Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :

a. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);

b. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

c. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,00(dua ratus lima puluh juta rupiah);

Pasal 85

Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :

a. a. menggunakan narkotika Golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. b. menggunakan narkotika Golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun;

c. c. menggunakan narkotika Golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun;

Pasal 86

(1) (1) Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)

(2) Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) tidak dituntut pidana.

Pasal 87

Barang siapa menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umum untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 82, 83 dan Pasal 84, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 88

(1) (1) Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(2) (2) keluarga pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 9tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Pasal 89

Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 90

Narkotika dan hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dirampas untuk negara.

Pasal 91
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam Undang - undang ini kecuali yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana denda tidak lebih dari Rp. 5.000.0000,00 (lima juta rupiah) dapat pula dipidana dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.

Pasal 92

Barang sipa tan hak dan melawan hukum menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).

Pasal 93

Nakhoda atau kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 atau pasal 25,dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh0 tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 94

(1) (1) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) (2) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71 dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 95

Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 96

Barang siapa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 dan Pasal 87 pidananya dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana pokok, kecuali
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
yang dipidana dengan pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 97

Barang siapa melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 dan Pasal 87, di luar Negara Republik Indonesia diberlakukan pula ketentuan undang-undang ini.

Pasal 98

(1) (1) Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana
narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini, dilakukan pengusiran ke luar wilayah Negara Republik Indonesia.

(2) (2) Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah Negara republik Indonesia.

(3) (3) Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika diluar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia.

Pasal 99

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), bagi :

a. a. pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, sarana
penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, apotik, dan dokter yang mengedarkan narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.

b. b. Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli,
menyimpa, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;

c. c. Pimpinan pabrik obat tertentu yang memproduksi narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau

d. d. Pimpina pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika
Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan atau mengedarkan narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 100

Apabila putusan putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undangundang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika, dijatuhkan
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
pidana kurungan pengganti dednda sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB XIII

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 101

(1) (1) Prekusor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika ditetapkan sebagai barang dibawah pengawasan Pemerintah.

(2) (2) Prekusor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam ayat 91) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

(3) (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan dan
pengawasan prekusor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XIV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 102

Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086) pada saat Undang-undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan
Undang-undang ini.


BAB XV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 103

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 104

Undang-undang ini mulai berlaku pada tangal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 1 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



ttd

S O E H A R T O

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA



ttd
M O E R D I O N O


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 97

Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Hukum
Dan Perundang-undangan



Lambock V. Nahattands



LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA

NOMOR : 22 TAHUN 1997

TENTANG : NARKOTIKA

a. a. GOLONGAN I

1. 1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya
termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

2. 2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh
dari buah tanaman Papaver Somniverum L yang hanya mengalami
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa
memperhatikan kadar morifnnya

3. 3. Opimu masak terdiri dari :

a. a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu
rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan,
dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain,
dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok
untuk pemadatan.

b. b. Jicing, sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa
memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau
bahan lain.

c. c. Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4. 4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari
keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.

5. 5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.

6. 6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.

7. 7. Kokaina, metil ester-1-bensol ekgonina.

8. 8. Tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua
bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.

9. 9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk
stereo kimianya.

10. 10. Delta 9 Tetrahydrocannabinol dan semua bentuk stereo
kimianya.

11. 11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7 -(1-hidroksi-1-
metilbutil-6, 14-endoeteno-oripavina

12. 12. Acetil-alfa-metilfentanil : N-[1-( -metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida

13. 13. Alfa-metilfentanil : N-[1-( -metilfenetil)-4-piperidil]
propionanilida
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

14. 14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-[1-metil-2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida

15. 15. Beta-hidroksifetanil : N-[1( -hidroksifenetil)--4-peperidil] propionanilida

16. 16. Beta-hidroksi-3-metil- : N-[1( -hidroksifenetil)-3-metil-4-peperidil] Fetanil propionanilida

17. Desomorfina : dihidrodeoksimorfina

18. Etorfina : Tetrahidro-7 -(1-hidroksi-1-metilbutil)-6,
14-endoeteno-oripavina

19. Heroina : diacetilmorfina

20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4 prpionilpiperidina

21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil)
propionanilida

22. 3-metiltiofentanil : N-(3-metil-1[2-(2-tienil)etil-4-piperidil] propionanilida

23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat
(ester)

24. Para-fluorofentanil : 4’-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil)
propionanilida

25. PEPAP : 1-fenetil-4-4-fenil-4-piperidinol asetat (ester)

26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil]
propionanilida

b. b. GOLONGAN II

1. Alfasetilmetadol : -3-asetoksi-6-dimetil amino-4, 4-
difenilheptana

2. Alfameprodina : -3-etil-1-metil-4-fenil-4-
propionoksipiredina
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

3. Alfametadol : -6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanol

4. Alfaprodina : -1, 3-dimetil-4-fenil-4-
propionoksipiperidina

5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4, 5-dihidro-5-okso-1Htetrazol-
1-il) etil]-4-(metoksimetil)-4- piperidinil]-N-fenilpropanamida

6. Alilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4- propionoksipiperidina

7. Anileridina : asam-1-para-aminofenetil-4- fenilpiperidina)-4-karboksilat etil ester.

8. Aseltilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-
difenilheptana

9. Benzettidin : asam-1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-
4-karboksilat etil ester

10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina

11. Betameprodina : -3-etil-1-metil-4-fenil 4propionoksipiperidina

12. Betametadol : -6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanol

13. Betaprodina : -1, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina

14. Betasetilmetadol : -3-asektosi-6-dimetilamino-4, 4-
difenilheptana

15. Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-
propionil-1-benzimidazolini)-piperidina

16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3, 3-difenil-4-
(pirolidinil)-butil –mofolina

17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida

18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1, 1-di-(2’-tienil)-1-butena

19. Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3, 3-difenilpropil)-4-
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3, 3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik

21. Dihidromorfina

22. Dimefeptanol : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanol

23. Dimeniksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1, 1-
difenilasetat

24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1, 1-di-(2’-tienil)-1-butena

25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat

26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona

27. Drotebanol : 3, 4-dimektosi-17-metilmorfinan-6 , 14-
diol

28. 28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.

29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2’-tienil)-1-butena

30. Etokseridina : asam 1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4-
fenilpiperidina- 4-karboksilat etil ester

31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5-
nitrobenzimmedazol

32. Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)-4-
fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester)

33. Hidrokodona : dihidrokodeinona

34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-
metilpiperidina-4- karboksilat etil ester

35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina

36. Hidromorfina : dihidrimorfinona
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
37. Isometadona : 6-dimetilamino-5-metil-4, 4-difenil-3-
heksanona

38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona

39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida

40. Fenazosina : 2’-hidroksi-5, 9-dimetil-2-fenetil-6, 7-
benzomorfan

41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N-fenetilmorfinan

42. Fenoperidina : asam 1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-
fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

43. Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina

44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-
nitrobenzimidazol

45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima

46. Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan

47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3, 3-difenil-4-(1-
pirolidinil)-butil] morfolina

48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan

50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona

51. Metadona intermediat : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana

52. Metazosina : 2’-hidroksi-2, 5, 9-trimetil-6, 7-benzomorfan

53. Metildesorfina : 6-metil- -6-deoksimorfina

54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina

55. Metopon : 5-metildihidromorfinona

56. Mirofina : miristilbenzilmorfina

57. Moramida intermediat : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1-
difenilpropana
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
karboksilat

58. Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester

59.59. Morfina-N-oksida

60. 60. Morfin metrobomina dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida

61. 61. Morfina

62. 62. Nikomorfina : 3, 6-dinikotinilmorfina

63. 63. Norasimetadol : ( )- -3-asetoksi-6-metilamino-4, 4-
difenilheptana

64. 64. Norlevorfanol : (1)-3-hidroksimorfinan

65. 65. Normetadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heksanona

66. 66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-dimetilatedmorfina

67. 67. Norpipanona : 4, 4-difenil-6-piperidino-3-heksanona

68. 68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona

69. 69. Oksimorfona : 14- hidroksidihidrokodeinona

70. 70. Opium

71. 71. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-
fenilpiperidina

72. 72. Petidina intermediat B : asam 4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

73. 73. Petidina intermediat B : asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4- karboksilat

74. 74. Petidina : asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4-
karboksilat etil ester

75. 75. Piminodina : asam 4-fenil-1-(3_fenilpiperidinopropil)-
piperidina-4-karboksilat etil ester
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

76. 76. Piritramidaq : asam 1-(3-siano-3, 3-difenilpropil)-4-(1-
piperidino)-piperidina-4-karboksilat amida

77. 77. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-
propionoksiazasikloheptana

78. 78. Properidina : asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4-
karboksilat isopropil ester

79. 79. Rasemetorfan : ( )-3-hidroksi-N-metilmorfinan

80. 80. Rasemoramida : ( )-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-
pirolidinil)-butil]-morfolina

81. 81. Rasemorfan : ( )-3-hidroksi-N-metilmorfinan

82. 82. Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil]-4-
piperidil] propionanilida

83. 83. Tebaina

84. 84. Tebakon : asetildihirokodeinona

85. 85. Tildina : ( )-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-
sikloheksena-1-karboksilat

86. 86. Trimeperidina : 1, 2, 5-trimetil-4-fenil-4-
propionoksipiperidina

87. 87. Garam-garam dari narkotika dalam Golongan tersebut diatas.

c. c. GOLONGAN III

1. 1. Asektildihidrokodeina

2. Dekstropropoksifena : -(+)-4-dimetilamino-1, 2-difenil-3-metil-2-butanol propionat

3. Dihidrokodeina

4. Etilmorfina : 3-etil morfina

5. Kodeina : 3-metil morfina
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokedeina

7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina

8. Norkodeina : N-dimetilkodeina

9. Polkodina : morfoliniletilmorfina

10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-
piridilpropionamida

11. 11. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas.

12. 12. Campuran atau sediaan opium dengan bahan lain bukan
narkotika.

13. 13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan
narkotika.

14. 14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



ttd

S O E H A R T O

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro hukum Dan perundang-undangan


Lambock V. Nahattands

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Sumber : http://www.tempointeraktif.com/

Google